aibubblebee


Di dalam seminar saya, saya sering menanyakan orangtua seperti ini, “Jujur, siapakah di antara bapak-ibu yang ingin membahagiakan anak-anak?” Hampir semua mengangkat tangannya dengan semangat, suasana menjadi sedikit riuh.
     Kemudian saya bertanya lagi, “Jujur, siapakah di antara bapak-ibu yang benar-benar merasa hidupnya bahagia?” Pertanyaan ini akan membuat suasana segera senyap.. Dan tangan-tangan yang terangkat sudah sangat berkurang jumlahnya. Biasanya, hanya sepertiga dari peserta yang hadir yang mengangkat tangannya. Bahkan, di suatu seminar, saya pernah mendapat kurang dari 10 peserta yang mengangkat tangannya dari jumlah 80 puluhan peserta yang hadir.
     Saya bertanya, “Siapakah di antara bapak-ibu yang pernah mendapat promosi di dalam pekerjaannya?” Sejumlah tangan terangkat, saya akan datang menghampiri salah satu peserta dan bertanya “Bapak senang ketika mendapat promosi?” Jawabnya, “ya, saya sudah bekerja baik, tentu layak mendapat promosi.” Katanya datar.
     Saya lanjut lagi bertanya, “Siapakah di antara ibu-ibu di sini yang rajin belanja ke pasar untuk memasak?” Beberapa ibu mengangkat tangannya, kembali saya hampiri salah satu ibu dan bertanya, “Ibu pernah belanja dan mendapatkan lengkap semua keperluan memasak?” Ibu itu mengangguk. “Bagaimana perasaan ibu?” Tanya saya lagi. “Yaaa kan, kalau belum lengkap saya akan cari terus. Kalau sudah lengkap, ya saya pulang.” Jawab ibu.
     Kepada peserta lain saya bertanya, “Bagaimanakah perasaan ibu ketika bangun bagi?” Jawabnya, “Ya, biasalah, saya akan segera menyiapkan sarapan dan mengurus anak-anak ke sekolah.” Kemudian, satu orang lagi seorang bapak yang berprofesi sebagai pedagang, saya bertanya, “Bapak, kalau dagangan bapak laku keras, apa perasaan bapak?” Bapak itu menjawab, “Ya senanglah, tapi kan kalau dagang, tidak pasti, hari ini untung, besok belum tentu.” Jelasnya.
     Saya bertanya kepada 4 orang tentang promosi, belanja, bangun pagi, dapat untung; dan jawaban para peserta itu seperti mem-blok dirinya untuk benar-benar merasa ‘senang’. Selalu ada alasan pengimbang yang membuat rasa senang itu tidak benar-benar dirasakan ataupun dinikmati.
     Bagaimana kita bisa membahagiakan anak-anak kita jika kita tidak pernah benar-benar tahu apa itu ‘senang’ atau ‘bahagia’?
     “Pak, ketika bapak dipromosi, mengapa bapak tidak berkata pada anak-anak bapak, ayah lagi senang sekali karena ayah dapat promosi. Yuk, kita makan bareng merayakannya.” Tanya saya. Bapak yang saya tanyakan hanya diam.
     “Ketika semua belanjaan sudah lengkap, pernahkah ibu berkata pada anak-anak ibu, mama senang banget semua belanjaan mama lengkap, masakan mama pasti enak?” Pertanyaan saya hanya dibalas dengan tatapan sang ibu, saya yakin ibu itu merasa bahwa perkara belanjaan lengkap bukanlah suatu hal besar yang perlu digembar-gemborkan.
     Kebanyakan orangtua sangat ahli mengungkapkan emosi-emosi negatif seperti kemarahan atau kekesalan. Namun tak banyak orangtua pandai mengungkapkan emosi gembira, senang, bahagia. Ini sangat tidak sinkron dengan tujuan mulianya ingin membahagiakan anak-anaknya. Orangtua yang hanya tahunya marah ataupun sedih, sebenarnya sedang mewariskan suatu ‘keahlian’ pada anak-anaknya untuk berperasaan buruk dan meratapi hidup.





dikutip dari Yacinta Senduk

Categories:

Leave a Reply