Sering sekali di dalam seminar saya, para peserta, yang merupakan orangtua murid berpikir akan mendapatkan hal-hal baru yang canggih. Namun akhirnya, mereka sering mendapatkan hal-hal lama yang terlupakan yang ternyata mempunyai kekuatan yang lebih baik dari canggih. Hampir selalu, di dalam seminar saya, saya tanyakan kepada para ibu, ”ayo para ibu, jawab yang jujur, siapa yang setiap sehabis diantarkan suaminya pergi ke suatu tempat, seperti ke mal, akan mengatakan, ’terimakasih, Pa, aku sudah diantarkan ke mal. Aku senang sekali...?’” Jika saya menanyakan hal ini, reaksi yang langsung saya dapatkan adalah ruangan yang tertawa heboh. Hhhmm, padahal saya tidak mencoba melucu. Sementara para bapak, kebanyakan kepalanya manggut-manggut setuju dengan saya atau ada yang mencolek lengan istrinya tanda senang karena posisinya sedang saya bela. Kemudian, saya harus mengulangi 2 atau 3 kali pertanyaan yang sama ini karena belum ada yang menjawab, ada yang asyik tertawa tapi banyak yang terlihat sedang memikirkan hal itu. Akhirnya akan terdengar celetukan-celetukan peserta yang syukurlah, kebanyakan sangat jujur.
Ini beberapa jawaban yang sering saya dapat:
”Duh! Suami saya bisa pingsan kalau saya bilang begitu.”
”Ya, kita kan sudah sangat mengenal satu sama lain, nggak perlu resmi gitu!”
”Nggak lah! Itu aneh banget!”
Lalu saya berkata, ”Baiklah kalau begitu, lalu kenapa kalau anak ibu mendapat sesuatu dari gurunya atau dari temannya, lantas ibu berusaha menyuruh anak ibu untuk bilang ’terimakasih’?” Suasana ruangan sejenak akan menjadi serius.
Anak-anak kita adalah penyontoh yang baik, mereka tidak hanya menyontoh kita untuk tidak mengucapkan terimakasih, lebih jauh lagi mereka menyerap asumsi orangtuanya. Jika kata ’terimakasih’ tidak sering didengar di dalam kehidupan keluarganya, mereka akan berpikir bahwa kata ’terimakasih’ adalah kata-kata resmi beretika saja, bukan kata-kata tulus yang sebenarnya mencerminkan kelembutan hati.
Suatu hari seorang ibu yang pernah hadir di seminar saya menghampiri saya dan berkata, ”Setelah 9 tahun pernikahan kami, akhirnya suami saya menatap saya kembali.”
”Wah! Apa yang terjadi, bu?” Tanya saya.
”Sehabis pulang dari pesta saudara saya, di mobil saya berkata... Terimakasih, Pa, hari ini saya senang Papa mau mengantarkan saya, Papa adalah suami yang baik... Lalu suami saya menoleh dan menatap saya, dia terlihat kaget sekali... Ia tidak berkomentar tentang ucapan terimakasih saya, tetapi banyak hal yang sangat menyenangkan yang kami bicarakan malam itu, dimana tadinya sudah lama saya ingin bercerai darinya.”
dikutip dari Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM
Categories:
inspirasi